Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974



http://duniabolaxxx.blogspot.com/2013/02/peristiwa-malapetaka-15-januari-1974.html#more


Kerusuhan Malapetaka 15 January 1974 merupakan peristiwa yang menarik untuk diketahui, peristiwa ini adalah tonggak kerusuhan massa terbesar selama rezim Soeharto berkuasa,peristiwa ini terjadi saat perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Indonesia, para demonstran yang kebanyakan berasal dari mahasiswa memanfaatkan moment ini untuk berujuk rasa besar besaran dalam rangka menolak masuknya dominasi asing khususnya Jepang dalam kegiatan perindustrian dan perdagangan di Indonesia yang berujung pada kerusuhan,penjarahan dan pembakaran aset aset pemerintah maupun masyarakat biasa.
Para mahasiswa yang terlibat kebanyakan berasal dari Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti ini dituduh ditunggangi organisasi massa dan kepemudaan tertentu semisal PSII, HMI dan bekas Masyumi ,karena aksi mereka berujung pada tindak anarkis,sediktnya 11 orang meninggal,300 orang mengalami luka ,775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak atau dibakar ,144 bangunan rusak, dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan di Jakarta,bahkan proyek pembangunan Senen yang bernilai milyaran rupiah pada saat itu ikut hangus terbakar,namun pada saat itu media massa hanya memberitahukan peristiwa yang dapat terlihat secara kasat mata, informasi tentang puluhan mahasiswa dan penggerak massa dijebloskan ke penjara dengan status tahanan politik(tapol) serta aktivis yang hilang secara tiba tiba ,alpha dari pemberitaan,bahkan masyarakat ataupun mahasiswa mahasiswa itu sendiri baru mengetahui setelah rekannya banyak yang hilang secara misterius dan pada tahun 1990an Ramadhan KH dan Heru Cahyono dalam bukunya mencoba menguak fakta tentang penjemputan paksa orang orang yang terlibat dalam peristiwa malari ini dirumah mereka masing masing,seperti yang terjadi pada Salim Hutajulu(Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Ilmu Sosial kala itu),Hariman Siregar(ketua Dewan Amanat Mahasiswa) tak luput juga Syahrir dan Dorodjatun Kontjoro Jakti(eks MekoPerekonomian zaman Megawati)yang masing masing dijebloskan ke penjara selama enam tahun. 



http://duniabolaxxx.blogspot.com/2013/02/peristiwa-malapetaka-15-januari-1974.html#more

Para mahasiswa mengepung bandara Halim Perdanakusumah yang sedianya digunakan untuk menjemput PM Jepang kala itu, Kakuei Tanaka,mereka mencoba menerobos masuk ke Pangkalan Udara tersebut namun tidak berhasil karena sudah dijaga aparat secara ketat, sebab pemerintah sudah mencium akan adanya aksi massa itu sehingga pemerintah menjemput PM Tanaka dengan helikopter dari Bina Graha langsung ke Istana Negara tanpa melakukan iring iringan kendaraan yang lazim dilakukan untuk menjemput tamu negara.

Sebenarnya aksi para mahasiswa dan sejumlah organisasi yang diduga menunggangi kerusuhan ini merupakan klimaks dari kunjungan ketua IGGI asal Belanda Jan Pronk yang menghembuskan pemikiran masuknya modal asing guna menguatkan perekonomian Indonesia, mereka memanfaatkan momen itu untuk menolak kebijakan Soeharto dan Orde Barunnya kala itu,pada masa itu ada dua kubu dengan pemikiran yang berbeda dalam menerapkan kebijakan startegi pembangunan kubu yang pertama adalah kubu Hatta yang menitikberatkan pada koperasi , kubu ini cenderung lebih nasionalis namun sosialis.Kubu Hatta sangat menekankan pada pemerataan. Sedangkan kubu yang kedua adalah kubu Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana serta kawan kawanya yang lain yang sama sama alumnus University California of Berkeley, para pengamat di lingkungan akademisi dan pers menyebut mereka mafia Berkeley, kubu ini mengadopsi teori Adam Schwarz dari AS yang mengagungkan pembangunan ekonomi dari pertumbuhan dengan motivasi akan terciptanya trickle down effect atau efek merembes ke bawah alias otomatis terjadi pemertaan dengan sendirinya atau dapat dikatakan mereka menerapkan kapitalisme gaya Indonesia .Soeharto lebih menyukai dan akhirnya menerpkan teori Widjojo dan Ali Wardhana ini, Soeharto berharap dapat menutup luka lama orde lama yang dianggapnya tidak baik.
Setahun sebelum peristiwa malari ini memang sudah ada cikal bakal pemberontakan dari kalangan akdemisi guna menjatuhkan kewibawaan orde baru, salah satunya adalah perkumpulan aktivis aktivis yang tergabung dalam Grup Diskusi UI atau GDUI termasuk Dorodjatun Kontjoro Jakti ( mantan menko perekonomian pada kabinet Megawati) dan Sjahrir (Ketua umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru).Aksi lebih nyata pun pernah terjadi dengan skala yang lebih kecil seperti Mahasiswa Menggugat dan Golongan Putih, namun kedua aksi tersebut tidak mampu melibatkan aksi masa yang besar.
Hal yang perlu dicatat setelah peristiwa ini meletus adalah lebih ketatnya Soeharto mengawasi aksi mahasiswa , menerapkan kembali secara tegas undang undang subversif dan tidak ragu menjebloskan seseorang maupun kelompok ke penjara sebagai bentuk preventif dan juga represi.Dua Jendral Dibalik Peristiwa Malari
Secara awam ,kita mengenal Malari sebagai tindakan kerusuhan yang disebabkan kekecawaan masyarakat terhadap pemerintahan diktator dan totaliter Soeharo yang diwakili oleh kaum intelektual seperti mahasiswa, namun banyak orang yang percaya bahwa Malari merupakan hasil konspirasi dan buah persaingan antara dua jenderal.Jendral yang dimaksud adalah Jendral Ali Moertopo dan Soemitro, hal serupa sebenarnya dapat kita amati pada persaingan antara Wiranto dan Prabowo pada tahun 1998.

Meminjam istilah dari Chalmers Johnson kedua jenderal tersebut dapat disebut sebagai scorpion general(Blowback,2000) sebab seorang Ali Moertopo dan Soemitro merupakan dua tokoh militer yang sentral dalam peristiwa tersebut, mereka memiliki kekuasaan dan berdalih lawanya yang melakukan konspirasi tersebut.

Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi (eksterm kanan) adalah dalang peristiwa tersebut, Ali Moertopo menuduh oknum inilah yang merasuk dalam gerakan mahasiswa.Dalam buku tulisan Cahyono,Jendral Ali Moertopo justru mendalangi peristiwa Malari berasama CSIS-nya, ia juga menambahkan bahwa Ali Moertopo dan Soejono Humardani yang kala itu keduanya menjabat sebagai Asisten Pembantu Presiden malahan membina hubungan dengan pemimpin eks DI/TII dalam sebuah organisasi dengan nama GUPPI(Gabungan Usaha Perbaikan Perbaikan Pendidikan Islam), Hal yang cukup menariksebab walaupun belum terbuti atau belum ada satupun orang yang berani membuktikan kebenaran ini dan sampai sekarang masih berwujud prasangka ataupun dugaan namun pada masa orde baru pemanfaatan unsur islam radikal terus terjadi pada masa itu.
Sebaliknya Ali Moertopo justru menuduh balik Soemitro,kala itu Soemitrio menjabat sebagai Panglima Komkabtib sedangkan Ali Moertopo menjabat sebagai Asisten Pribadi Presiden baersama S. Humardani, Letnan Soeryo, dan Mayjen Tjokropranolo. Ia menganggap Soemitro sebagai “orang luar” yang seharusnya bertanggung jawab dalam kerusuhan itu. Pandangan Ali Moertopo terhadap Soemitro
Era dimana peristiwa Malari meletus, Soeharto membentuk “Guardian General” atau jendral penjaga yang tugasnya kurang lebih mengawal pemerintahan Soeharto yang totaliter, ada empat orang yang berindak sebagai satgas disini, semisal S.Huamrdai,Soeryo,Tkoropranolo dan Ali Moertopo.Sebelum berugas di Aspri Ali Moertopo adalah Wakil Ketua Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), ia adalah orang yang berkiprah besar dalam dunia intelijen Indonesia, bersama S.Humardani ia merintis CSIS ( Center for Strategic and International Studies) yang merupakan lembaga penelitian terhadap kebijkan pemerintah khususnya aksi dalam bentuk intelijen internasional ia juga menerbitkan tulisan Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun yang selanjutnya diterima MPR sebagai strategi pembangunan jangka panjang (PJP).Kedekatanya dengan Soeharto yang mengakibatkan dirinya sebagai salah satu Aspri dan Menteri Penerangan pasca Malari dimulai saat memulai kiprahnya sebagai anggota militer, ia tergabung dalam Banteng Raider dibawah komando Ahmad Yani dalam menumpas radikalis Islam Darul Islam,Ali kala itu mendukung Letkol Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro ,akhirnya Soeharto berhasil dipilih dan sebagai imbalanya Ali Moertopo diangkat sebagai Asisten Teritorial sebelum akhirnya ia ditarik ke Jakarta untuk menduduki beberapa jabatan strategis disana.

Ali Moertopo menganggap Soemitro sebagai orang yang tidak setia kepada Soeharto, ia dan kawan kawanya di Aspri menganggap manuvernya di Pangkomkabtib terlalu berbahya bagi kelangsungan kekuasaanya sebagai pembisik presiden di tingkat atas.

Dalam sebuah dokumen Ramadi disebutkan bahwa Soemitro menggalang dukungan di kampus kampus, lebih lengkapnya Ramadi yang dikenal dekat dengan Ali Moertopo menyebutkan bahwa ada jendral yang berinisial S yang akan merebut kekuasaan Soeharto, dan dipastikan Pak Harto akan jatuh. Tudingan dalam hal ini tentu saja mengacu pada Soemitro.

Namun Dukumen Ramadi ini justru didukung oleh ucapan Soemitro sendiri ,Soemitro kala itu sering melakukan roadshow mengunjung petinggi militer lokal di dareah, dalam salah satu kesempatan Soemitro menyebut “Jenis Kepemimpinan Baru” yang tentu saja merujuk pada gaya kepemimpinan Soeharto.
Nahas bagi Ramadi,dokumenya benar benar membuat huru hara di lingkungan jendral-jendral,petinggi militer yang tidak merasa terlibat merasa dokumen ini akan membahayakan posisinya, Ramadi ditangkap dan akhirnya meninggal secara misterius dalam status tahanan.Pandangan Soemitro Terhadap Ali Moertopo
Soemitro dikenal sebagai jenderal yang juga seorang pemikir,hingga akhir hayatnya ia masih krirtis terhadap pemerintahan walaupun hanya berkutat pada bidang parlementarian,seperti pada tahun 1997 setahun sebelum ia wafat,ia mengomentari posisi PPP dan ABRI yang dinilai tidak bermanfaat bagi parlemen
Jenderal Soemitro dilahirkan di daerah Probolinggo 13 Januari 1927,Ayahnya merupakan aktivis PNI dan berkerja sebagai kasir di PG Gending sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.Soemitro muda tinggal di lingkungan religius di pondok pesantren hingga menginjak usia 16 tahun ia mendaftar sebagai anggota Bala Bantuan PETA, ia diterima dan akhirnya mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Bogor,saat agresi Belanda II meletus ia ditunjuk oleh Panglima Komando Jawa Kol.Nasution untuk melakukan teknik Wingate ,atau operasi gerilya yang diadopsi dari gaya serang perang di Burma saat itu Soemitro menjabat sebagai Sub Wehrkreise Kota Malang.
Kala itu Soemitro berhasil menjalankan tugasnya dengan baik ia ditunjuk menjadi komandan batalyon tingkat regional dan ditugaskan menumpas laskar liar di segitiga Pasuruan,Sidoarjo dan Mojokerto.

Sebagai seorang petinggi militer zaman Orba ,karrinya cukup diperhitungkan,ia menempuh Advanced Course di Fort Benning,Amerika,pendidikan yang juga pernah ditempuh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Setelah Malari meletus ia memutuskan hengkang dari dunia militer yang melambungkan namanya,ia menulis buku yang cukup membuka mata kita ,dengan judul Pankopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa Malapetaka 15 Januari ’74 .

Dalam peristiwa Malari Soemitro adalah tokoh strategis dalam kejadian berdarah tersebut, Soemitro kala itu menjabat sebagai Pangkopkamtib ,ia dituduh Rivalnya Ali Moertopo yang saat itu menjabat sebagai salah satu Aspri melakukan aksi sabotase menggulingkan Soeharto,sebuah okumen dari orang dekat Ali Moerttopo menyebutkan bahwa ia menggalang kekuatan di kampus kampus,terlepas dari itu semua Soemitro menganggap Ali Moertopo lah yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa Malari tersebut, Ali Moertopo memiliki otoritas yang penuh di CSIS sebuah badan merangkap pusat studi intelijen yang pastinya didukung oleh orang orang hebat dalam bidang itu, sebenarnya dugaan Ali Moertopo itu didukung dengan analisis bahwa jenderal Ali Moertopo memiliki hubungan dengan golongan ektrimis sayap kanan Islam .

Peristiwa Malari: Murni Gerakan Mahasiswa atau Konspirasi Petinggi Militer?
Sebelum adanya peristiwa Malari sebuah diskusi konstruktif sudah ada di UI ,mereka akademisi UI menyatakan sikapnya dan evaluasi tentang gerakan mahasiswa dan kelompok lain yang mengatasnamakan diri sebagai pemuda, seperti Gerakan Golongan Putih, Mahasiswa Menggugat dan lain sebagainya.
Gerakan gerakan diatas belum mampu mendobrak pemerintah, dan para pelakunya sudah terlebih dahulu dibekuk pemerintah dengan tuduhan subversif dan tuduhan yang dibuat buat lainya.

Pasca meletusnya Malari, Ali Moertopo yang kala itu duduk sebagai Asisten Pembantu Presiden menganggap para mahasiswa didukung oleh radikalis sayap kanan yang berhalauan Islam seperti orang orang eks Masyumi yang pro orde lama dan merasa sakit hati dengan Soeharto namun mahasiswa tidak serta merta membantahnya karena dalam tubuh mahasiswa sendiri ada organisasi HMI dan PSII yang memang diisi oleh orang orang eks Masyumi, anggap saja hal itu sudah tidak jadi soal tentang siapa orang orang yang terlibat, namun pendapat Soemitro yang mengatakan justru Ali Moertopo lah yang menjadi aktor intelektual,perlu diingat bahwa Ali Moertopo memiliki CSIS, organisasi memang sebagai pusat studi intelijen nasional, namun secara logika CSIS diidi oleh orang orang hebat sebagai pakar intelijen , yang menurut Soemitro adalah orang orang yang bertanggung jawab menghasut para mahasiswa, tidak ingin kalah kubu Ali Moertopo ,diwakili oleh Ramadi mengeluarkan dokumen yang telah disebutkan diatas, lalu siapakah yang menjadi aktor intelektualnya?

Dibalik pertanyaan besar yang masih melingkupi kabut peristiwa berdarah tersebut para analisis dibidang militer maupun bidang politik mengungkapkan kekuatan dua kutub magnet militer antara Ali dan Soemitro sangatlah kuat.Friksi antara dua jenderal besar tersebut membuat beberapa penggiat buku menerbitkan 12 buku rujukan yang memnceritakan kejadian berdarah tersebut.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Ali Moertopo dan Peristiwa Malari

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari [1].



PERISTIWA 15 JANUARI DI INDONESIA

Dalam pertengahan tahun 1973, Pemerintah Presiden Soeharto yang didominir militer nampaknya menguasai segala segi politik.Partai-partai politik telah dihancurkan dalam pemilihan umum 1971, pers telah diintimidasi dan para mahasiswa telah kembali ke kampus.Dengan ditunjang oleh bantuan luar negeri yang mengalir terus, kenaikan penanaman modal asing dan hasil yang meningkat tinggi dari minyak, Soeharto nampaknya terjamin dalam mengendalikan pemerintahan di tangannya untuk masa depan seterusnya.

Namun pada bulan Januari 1974 stabilitas semu pemerintahan telah menjadi sangat meragukan disebabkan terjadinya huru hara yang menggoncangkan Jakarta bersmaan waktunya dengan kunjungan dari Perdana Menteri Jepang, Tanaka.

Walaupun kunjungan Perdana Menteri Jepang tersebut telah jelas merupakan kesempatan baik bagi tersetusnya huru hara, tetapi apa yang terjadi pada 2 – 3 bulan sebelumnya telah menunjukkan adanya kecaman umum yang semakin berkembang tidak saja ditujukan kepada segi pola pembangunan yang dikerjakan oleh pemerintah.

Pemimpin-pemimpin militer dengan cepat mengakui bahwa serangan terhadap Jepang itu sesungguhnya merupakan serangan terhadap pemerintah sendiri secara langsung, dan dalam adu kekuatan sesudah huru hara, mereka menuduh lawan-lawan mereka telah merencanakan kudeta untuk menggulingkan Presiden Soeharto. Sekitar 42 orang pemimpin, 2 mahasiswa dan pengecam kalangan-kalangan sipil lainnya ditangkapi dan akan dihadapkan kemuka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi, tetapi sangatlah diragukan bahwa mereka itu telah merencanakan merebut kekuasaan bagi kepentingan sendiri, apabila memang benar pemerintah terancam oleh suatu kudeta dibulan Januari itu, ancaman tersebut tidak lain sebetulnya dari kalangan tentara sendiri.

Setelah mengambil kekuasaan di tahun 1966, Soeharto berangsur-angsur mengukuhkan kedudukannya sendiri dengan jalan menggeser kaum pembangkang yang kuat dari kedudukan-kedudukan pimpinan dalam tentara. Lawannya yang paling utama, Jenderal Nasution telah disingkirkan kedalam kedudukan sipil yang terhormat, dalam kalangan jenderal muda “Jagoan” (Young Turk), seperti Kemal Idris, Dharsono dan Sarwo Edhi telah dikotakan kedalam tugas non militer. Komando-komando militer daerah diisi dengan perwira yang tidak mempunyai cukup pendukung pribadi mereka masing-masing, sehingga dengan begitu bergantung sepenuhnya kepada kepemimpinan Soeharto. Sementara kalangan Angkatan Laut, Angkatan Udara dan kepolisian yang sebelumnya independen, telah diintegrasikan dengan Angkatan Darat, dibawah komando Jenderal Panggabean, panglima ABRI dan seorang pendukung Soeharto. Walaupun sebagian besar penasehat-penasehat terkuat Soeharto diambil dari lingkungan-lingkungan divisinya sendiri, Divisi Diponegoro dari Jawa Tengah, diapun sangat berhati-hati dalam memelihara jaminan divisi-divisi lainnya juga mempunyai wakil dikalangan elite militer. Maka sebagai kepala Organisasi Keamanan KOPKAMTIB, ditunjuk Jenderal Sumitro, dari Divisi Brawijaya di Jawa Timur. Sedangkan Let.Jen. Sutopo Juwono dari divisi Siliwangi di Jawa Barat mengepalai Badan Intelijen (BAKIN).

Kekuatan Soeharto terletak pada pengendalian anak buah, berlawanan dengan Soekarto yang dinilai mempunyai kharisma yang besar dan yang sanggup menarik dukungan yang luas dari kalangan politik satu sama lainnya berlawanan sendiri. Soeharto mengendalikan dirinya sebagian besar kepada distribusi pejabat-pejabat yang dilakukannya didalam lingkungan elite militer. Kepemimpinan dalam bentuk piramida yang dikembangkan di bawah Soeharto, telah menyebabkan pembangkang-pembangkang yang kuat terpojok dalam kemacetan Status Quo.

Orang-orang militer ditempatkan pada kedudukan-kedudukan di pemerintahan pusat maupun daerah, begitu juga jabatan-jabatan perusahaan. Walaupun hanya 5 orang dari seluruh anggota kabinet Soeharto yang terdiri dari 22 orang diambil dari kalangan militer, tetapi perwira tentara terdapat kalangan pejabat sipil senior di semua departemen dari dari 26 orang Gubernur di daerah-daerah, yang 22 orang adalah orang-orang militer. Perwira-perwira militer baik dalam pemerintahan sipil maupun militer keduanya diberi ijin untuk berkecimpung secara langsung atau tidak langsung kedalam perusahaan pribadi, yang dengan sendirinya perusahaan-perusahaan ini apabila berurusan dengan birokrasi pemerintahan diberi pelayanan dengan baik seperti dalam hal mendapatkan lisensi memperoleh kredit, mengadakan kontrak-kontrak dan fasilitas lainnya. Kemampuan rejim Soeharto untuk menyediakan hadiah-hadiah yang besar kepada pendukung-pendukungnya itu dimungkinkan oleh adanya modal asing yang mengalir masuk secara besar-besaran, disebabkan pula karena pengusaha-pengusana asing itu mengetahui bahwa usahanya itu akan berhasil apabila berhubungan dengan partner-partner pengusaha Indonesia, yaitu yang mempunyai hubungan dengan kaum militer. Selanjutnya keuntungan yang menanjak keras dibidang minyak akhir-akhir ini telah memperkuat sekali adanya bobot kepemimpinan pemerintah untuk memperluas ruang lingkupnya. Diperkirakan penghasilan minyak Indonesia pada tahun 1975/1975 akan naik milyaran US$ dari hasilnya pada tahun 1972/1973. sumber Grencille “Survey of recent Development” – Bulletin of Indonesian Economic Studies, March 1974..

Yang memetik keuntungan-keuntungan terbesar dari sistem tersebut dengan sendirinya adalah mereka yang berada di pusat pimpinan pemerintah. Gejala tersebut tampak dengan sendirinya pada sikap perbuatan presiden dan mereka yang terdekat dengan dia. Kegiatan bisnis Soeharto sendiri telah mengakibatkan dia dahulu dipecat dari jabatan Panglima Diponegoro, pada tahun 1959, yaitu waktu ia terlibat dalam penyelundupan-penyelundupan dengan alas an untuk mengumpulkan dana bagi kesejahteraan anak buahnya.

Setelah Presiden Soekarno mengangkat kembali, pada kedudukan penting sebagai Panglima pasukan-pasukan yang disiapkan untuk menyerbu Irian barat pada tahun 1962, kemudian Soeharto ditujuk menjadi Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (KOSTRAD) pada tahun 1964 diapun mendirikan Yayasan Dharma Putra yang sekarang telah menjadi inti perusahaan-perusahaan raksasa di Indonesia. Dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, Liem Siu Liong, kegiatan bisnis Soeharto berjalan lancar dan pesat. Adiknya, Probosutedjo menguasai perusahaan besar yang dimodali sebagiannya dengan kredit dari Bank Negara, walaupun oleh Komisi Pengusut Korupsi yang dibentuk oleh pemerintah tahun 1970 perusahaan “Waringin” merupakan salah satu dari lima perusahaan yang harus dituntut dengan segera, tetapi kemudian pemerintah menetapkan perusahaan tersebut untuk berjalan terus, karena perkaranga “kekurangan bukti”

(Laporan dari Komisi Empat dalam Sinar Harapan 18 Juli 1970). Istri Presiden, Nyonya Tien Soeharto, juga menjadi tokoh penting dalam dunia perdagangan komersil, dimana dia memperoleh sebutan sebagai “Nyonya Tien Prosen” yang berasal dari perkataan Belanda “Teen” yang berarti 10 (sepuluh), karena ia terlibat dalam perusahaan Astra yang mengimport mobil-mobil Toyota, perusahaan tepung “Bogasari”, perusahaan kain batik “Keris”, perusahaan “Sahid” yang bekerja di berbagai bidang luas, dan sebuah proyek kehutanan yang besar di Kalimantan.

(Setelah terjadinya huru-hara bulan januari, Presiden Soeharto memanggil pemimpin-pemimpin redaksi surat kabar terkemuka dalam suatu pertemuan dimana para direktur “Astra”, “Bogasari”, “Batik Keris” dan “Syahid” menyatakan bahwa tidak ada keluarga Presiden yang tercantum namanya dalam dokumen-dokumen resmi dari perusahaan tersebut. Adalah khusus dinyatakan bahwa masalahnya tidak menyangkut pertanyaan apakah keluarga Presiden memperoleh penghasilan dari perusahaan-perusahaan mereka itu. “Berita Buana”, 22 Januari 1974).

Contoh dari keluarga Presiden Soeharto diikuti oleh kalangan elite militer. Dalam suatu wawancara yang terus terang dengan wartawan majalah “TIME”, Let.Jen. Ibnu Sutowo, Direktur Utama dari Perusahaan minyak Negara Pertaminan membantah menyebutkan bahwa kekayaannya pribadi diperoleh dari perusahaan Negara yang dikepalainya. Dia menjelaskan :”Saya pengusaha besar dalam bidang eksport tembakau, perdagngan, obat-obatan, pabrik tekstil, perkebunan karet, dan saya mempunyai Enam atau Tujuh saham dalam perusahaan-perusahaan”, dan kemudian ditambahkannya bahwa dia menerima komisi-komisi dalam turut mengatur perjanjian-perjanjian perdagagan dengan perusahaan luar negeri, majalah “Time”, 31 Agustus 1970

enderal-jenderal lainnya yang dekat dengan presiden, seperti Letjen Soeryo dan Mayjend Soedjono Humardani mempunyai saham-saham yang serupa dan keduanya terlibat dalam perusahaan-perusahaan yang disebutkan oleh ‘KOMISI PENGUSUT KORUPSI” pada tahun 1970Maka dalam ukuran-ukuran yang lebih kecil, orang-orang militer pada semua tingkatan diperkenankan menjalankan kegiatan Bisnis masing-masing. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, perwira-perwira militer bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, dimana kemampuan Bisnis jenderal itu dikalahkan oleh mereka. Sementara perusahaan-perusahaan itu pada umumnya dijalankan oleh orang-orang Cina, orang-orang militernya memberikan jaminan untuk menghilangkan rintangan-rintangan dalam Birokrasi serta menyediakan segala fasilitas-fasilitas yang diperlukan.

Dalam tahun yang terakhir kenaikan penanaman modal asing telah menambah unsur ketiga terhadap kerja sama tersebut, berupa pedirian Joint Venture oleh perusahaan asing degan perusahaan yang dijalankan oleh orang-orang Cina yang dibacking. Sementara jumlah nilai penanaman modal Amerika telah melebihi modal Jepang, penanaman pokoknya ditujukan dalam perusahaan-perusahaan pertambangan di pulau-pulau luar Jawa, di pihak lain penanam modal Jepang diarahkan tidak hanya kepada eksploitasi bahan mentah/tembakau, tetapi juga terhadap perusahaan-perusahaan pembuatan barang, sehingga dengan demikian jumlah proyek-proyek Jepang melampaui proyek-proyek Negara lain (Sampai 1973 persetujuan telah diberikan kepada 135 proyek Jepang dengan nilaiUS $ 534 Juta dan 115 proyek Amerika dengan nilai US $ 935 juta, Abadi 4 Des 1973).

Menurut Soedjono Humardani, semua penanaman modal untuk pabrik-pabrik sebesar US $ 300 juta (Kompas, 3 Des 1973). Dengan bimbingan dari pembantu presiden, Mayjen Soedjono Humardani, yang menjadi pengawas tidak resmi dari penanam modal Jepang, maka sektor pabrik-pabrik modern semakin bayak dikuasai perusahaan-perushaan gabungan Jepang-Cina-Militer.

Maka sementara kalangan dalam pemerintahan menikmati keuntungan-keuntungan, kelompok-kelompok diluar pemerintahan mendapatkan alas an untuk tidak puas. Pabrik-pabrik Indonesia yang kecil menghadapi banyak saingan yang lebih effisien, khususnya di bidang perusahaan tekstil, menjadi lumpuh dan mati sedangkan para buruhnya yang kehilangan pekerjaan dari pabrik-pabrik yang mempergunakan banyak buruh tersebut (labour intensive) tidak dapat disedot dalam perusahaan-perusahaan baru yang mengutamakan banyak modal (Capital Intensive). Maka jurang antara kaya dan miskin makin lebar disebabkan karena golongan komprador Indonesia menerima cara-cara pembagian konsumsi dari partner-partner asing mereka sedangkan pengangguran kota tetap pada tingkat yang tinggi. Meskipun terdapat kenaikan yang menyolok sebesar 7% pertumbuhan Gross National Product (GNP), bagian terbesar rakyat didesa maupun kota tidak berhasil turut menikmati buah kenaikan ekonomi yang pesat ini, sedangkan kalangan kaya memamerkan kekayaannya seperti tidak pernah sebelumnya. Bahwa sektor pertumbuhan dalam ekonomi semakin jatuh dibawah pengawasan asing, dan barang-barang dari luar negeri semakin membanjiri kalangan konsumen maka bukan kaum miskin saja yang membenci perubahan tersebut, tetapi juga kalangan berpendidikan dalam golongan menengah dan para mahasiswa mulai merasakan hidup dibawah kolonialisme yang baru, dimana kepentingan Indonesia dinomor duakan terhadap kepentingan asing, khususnya bangsa Jepang menjadi sasaran utama dari kebencian tersebut, disebabkan karena “Kemenyolokan” mereka itu.

Sementara penanaman modal asing dipusatkan didaerah seberang, barang-barang produksi Jepang yang menguasai pasaran konsumsi dilambangkan oleh mereka Reklame Neon yang menerangi sepanjang jalan-jalan Jakarta sepanjang malam, termasuk reklame TOYOTA dan SANYO yang raksasa tertumpang diatas gedung bertingkat tinggi di Jakarta. Selama ketidak puasan dan frustasi hanya terbatas pada pengusaha-pengusaha pribumi, para mahasiswa dan kaum miskin, maka stabilitas keamanan tidak terancam bahaya. Namun tanda-tanda menunjukkan bahwa kejengkelan telah meluas kedalam Angkatan Bersenjata pula. Kalau banyak perwira-perwira yang menduduki jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka menumpuk kekayaan pribadi secara besar-besar, maka dengan sendirinya terbukti ada golongan-golongan tertentu yang menikmati keadaan sekarang melebihi dari pada golongan yang lain.

Sementara perwira-perwira tingkat tertinggi dan mereka yang ditugaskan dalam kedudukan-kedudukan administratif dan keuangan menjadi makmur, maka fihak yang lain dalam kalangan menengah dan bawahan mengalami kesulitan-kesulitan ekonomi yang serupa diderita kalangan menengah dan bawah golongan sipil. Selanjutnya banyak perwira-perwira dan prajurit-prajurut yang turut serta dalam angkatan bersenjata selama revolusi melawan Belanda, sekarang menghadapi pensiun.

Sampai tahun 1978 tentara akan menyusutkan diri dari 260 ribu orang sekarang menjadi 180 ribu orang, dan masa pensiun seperti itu akan juga dilaksanakan dalam Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian dengan akibat bahwa bekas anggota Militer akan dilemparkan kedalam barisan pekerja, tanpa jaminan akan memperoleh lapangan kerja yang cukup. (Angkatan Darat berbeda dengan ketiga angkatan lainna tidak pernah mengumumkan secara resmi jumlah kekuatannya, walaupun pada tahun 1973 Laksamana Sudomo mengatakan bahwa jumlah Angkatan Bersenjata seluruhnya adalah 450.000 orang. Setelah dikurangi dengan angka-angka dari angkatan yang lain, maka jumlah Angkatan Darat selurunya kira-kira akan menjadi sekitar 263.000 orang, Kompas 2 Juli 1973. Target penyusutan Angkatan Bersenjata diumumkan oleh Kepala Staf Angkatan darat, Kompas 12 September 1973).

Akhirnya, kelihatannya ada perwira-perwira muda, yaitu angkatan yang memperoleh penddikan Akademi Militer, yang menjadi sangat kecewa secara mendalam disebabkan oleh kegistan Bisnis yang semakin meluas dari kalangan yang lebih tua yang menyebabkan tentara disoroti dengan kebencian oleh masyarakat. Mereka ini semakin hancur impiannya, demi terjadinya korupsi yang terang-terangan yang diperbuat Jendral-jendral di pusat dan partner-partner Cina mereka, yang seolah-olah tega menjual bangsanya kepada bangsa asing; khususnya kepada Jepang, walaupun banyak dari kalangan angkatan muda yang berusaha untuk mewarisi hasil-hasil angkatan yang terdahulu, tetapi kiranya terdapat juga diantara yang berjiwa Nasionalis, pembaharu, serta mempunyai “Kaum Nasser” dikalangan perwira-perwira muda.

Dalam memimpin negara, Soeharto dengan sepenuhnya mengandalkan kepada kelompok sangat kecil pembantu-pembantu pribadinya (dikenal sebagai Assisten Pribadi/ASPRI), yang sangat mempunyai kekuatan kekuasaan- kekuasaan melebihi Menteri-menteri Kabinet. Tiga dari Aspri yang terkenal ialah Mayjend Ali Moertopo; Mayjend Soedjono Humardani dan Letjen Soeryo, yang merupakan kawan-kawan sejak lama. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani telah turut serta sebegai pembantu dalam staf di Jawa Tengah selama tahun 1950 an, dan kemudian pindah ke jakarta sewaktu Soeharto diberhentikan di tahun “59, sedangkan Soeryo berhubungan dekat dengan Soeharto dalam awal 1960 an. Soeryo dan Sudjono Humardani keduanya berpengalaman di bidang mencari dan mengumpulkan dana untuk keperluan tentara, terlibat sangat dalam urusan keuangan dengan perusahaan-perusahaan Cina asing, sedangkan Ali Moertopo sebagai kepala “OPSUS” (Operasi Khusus), telah melakukan karya-karya politik berturut-turut denagn sukses, termasuk kontak-kontak rahasia yang dilakukannya dengan Malaysia sewaktu dilancarkannya konfrontasi, pungutan suara pendapat rakyat (PEPERA) ditahun 1969 di Irian barat, serta kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971.

Kecerdikan dibidang keuangan dan politik para Jenderal Aspri tsb dan hubungan mereka secara pribadi yang lama dengan Soeharto telah menjadikan mereka itu anggota lingkungan Kepresidenan yang paling dipercaya dan tidak bisa diganti, walaupun mereka tidak menduduki jabatan-jabatan resmi dalam pemerintahan dalam lembaga kemiliteran mereka mempunyai pengaruh yang besar terhadap pengangkatan-pengangkatan dan kebijaksanaan politik bak dalam bidang pemerintahan maupun didalam bidang hirarki Militer.

Kelebihan-kelebihan yang ada pada kelompok Aspri ini ditentang oleh banyak perwira-perwira yang masih aktif dalam dinas maupun perwira-perwira lebih tua yang disingkirkan dari kelompok yang melindungi Soeharto. Sementara Panglima ABRI Jendral M. Panggabean berhubungan sangat erat dengan kelompok Aspri, maka wakilnya Jendral Sumitro, semakin hari semakin diakui sebagai juru bisara dari kalangan militer “Profesional” dalam lingkungan Departemen Hankam. Sebagai Wakil Panglima ABRI dan selaku Pangkopkamtib, Sumitro mempunyai kekuasaan resmi yang luas dan hubungannya yang teratur dengan Panglima-panglima daerah yang bertindak sebagai pelaksana khusus Kopkamtib Daerah mereka masing-masing. Kalau sekelompok Aspri, sementara panglima-panglima yang lain menentang kegiatan-kegiatan Ali Moertopo yang seringkali mengakibatkan ketidak puasan yang memerlukan penyelesaian atau penindakan dari perwira-perwira lapangan.

Meskipun para perwira Angkatan Darat pada umumnya tidak menolak bahwa rekan-rekan mereka berhubungan dalam kegiatan perdagangan dengan orang-orang Cina, dan orang Asing; mereka prihatin juga dan merasa bertanggung jawab ketika penumpukan keuntungan secara menyolok telah mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi, atau ketika salah urus masalah beras pangan, yang sebagian besar berasal dari kaum “abangan” dalam masyarakat, tidak bersimpati khusus terhadap masyarakat muslim, tetapi mereka ini menjadi sangat khawatir setelah tindakan-tindakan yang diatur oleh kelompoknya Ali Moertopo memancing timbulnya huru-hara dari kaum mislim.

Selanjutnya kalangan Militer “Profesional” yang senior dalam HANKAM lebih menyukai mempunyai hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat, karena Amerika memberikan bantuan militer yang semakin bertambah jumlahnya. Sedangkan Sudjono Hurmardani dan Ali Moertopo lebih condong untuk mengandalkan kenaikan keuntungan minyak yang semakin meningkat hebat, untuk membebaskan Indonesia dari Barat dan telah memainkan gagasan “Poros Tokyo – Jakarta – Canberra”.

Persaingan antara kelompok Aspri dan kelompok Hankam menjelma sebagian besar pada terjadinya geser-menggeser dalam lingkungan dalam (intra elite) berebut jabatan/kedudukan. Setelah sukses Ali Murtopo dalam membentuk Golkar menjadi salah satu kekuatan Pemilu yang effektif dalam tahun 1971, maka para jenderal bertindak dengat cepat untuk mencegah jangan sampai Golkar menjadi landasan Extra bagi Ali Murtop, dan ketika konggres pertama Golkar diselenggarakan dalam bulan September 1973, akhirnya jabatan-jabatan didalamnya terbagi dua sama kuat antara pendukung dua kelompok tersebut. Begitu juga halnya ketika Ali Murtopo berusaha keras agar calon-calonnya menggantikan kedudukan para teknorat dalam kabinet diawal 1973, kalangan Hankam telah memveto rencana tersebut dan kabinet secara substansial tidaklah berubah, sebaliknya waktu Jendral Suhud diangkat sebagai Panglima Kopkamtib, maka Soeharto menetapkan yang lain yaitu Laksamana Sudomo, seorang kawan lama yang telah mempunyai tali hubungan erat dengan Ali Murtopo. Perebutan kekuasaan dilingkungan Angkatan darat itu juga tercermin didaerah-daerah dimana perwira-perwira saling bersaing memperjuangnkan Gubernur-gubernur,

Meskipin kelompok Aspri menikmati hubungan yang akrab dengan Presiden, tetapi presiden sendiri berbuat hati-hati jangan sampai menguntungkan kelompok tersebut sedemikian rupa sehingga mengakibatkan perwira militer “profesional” di HANKAM meraka dikesampingkan. Suatu keseimbangan yang hati-hati tetap dipelihara, dimana kedua kelompok masing-masing diberi hadiah2 dan diberi harapan2 optimisme bagi mada depan mereka.

Dalam pertengahan tahun yang kedua dalam tahun 1973 udara politik di jakarta mengalami perubahan yang mengesankan. Pada pertengan tahun itu terdapatkan perasaan yang mendalam bahwa cengkeraman golongan elite terhadap negara akan berlanjut terus tanpa batas, tetapi selama beberapa bulan berikutnya persangkaan tersebut tiba-tiba mendapat tantangan.

Pertanda pertama tentang adanya suasana baru adalah setelah terjadinya huru-hara anti Cina yang besar di Bandung, yang menu njukkan saja adanya penetangan dari kaum miskin kota, tetapi juga menandakan ketika tentara tidak mengambil tindakan2 keras untuk menumpas huru-hara tersebut, bahwa ketidak puasan telah meluas di kalangan golongan bawah tentara sendiri. Bersamaan dengan itu pula semangat pemberontakan berkobar dikalangan masyarakat Islam sebagai reaksi terhadap suatu rencana Undang2 perkawinan yang “Sekuler” yang menandakan bahwa kendatipun partai-partai politik sudah dihancurkan, namun oposisi dari kaum sipil tidak dapat diabaikan sama sekali dan sswaktu-waktu dapat digerakkan untuk melawan pemerintah.

Akhirnya runtuhnya secara tidak terduga-duga pemerintahan Kittachorn di Muanthai sesudah terjadinya huru-hara mahasiswa, hal itu sekaligus memberikan peringatan bagi pemerintah serta memberikan inspirasi bagi para penantang2nya.

Huru-hara di bandung pada tanggal 3 Agustus 1973 adalah suatu cetusan anti Cina yang paling serius dalam jaman orde baru sebagai akibat dari terjadinya suatu insiden kecelakaan kecil yang melibatkan seorang Cina, kemudian sumbu huru-hara berkobar mulai pukul 16.00 sampai pukul 01.00 malam berupa suatu pernyataan penentangan dari kaum miskin kota bandung terhadap orang2 cina kaya dari dunia perdagangan, dengan menghancurkan lebih dari 1500 buah toko2 dan rumah2 termasuk hampir semua pertokoan yang ada di kota tersebut.

Huru-hara itu sekali lagi membuktikan bahwa masa kota tidak termasuk mereka yang sudah menikmati hasil2 dari program pembangunan pemerintah, tetapi segi yang paling menyolok adalah tidak berhasilnya tentara bergerak untuk menindas kaum perusuh. Pasukan tentara tidak muncul sama sekali sampai sudah hampir larut sore dan kemudian mereka pun tidak mengambil tindakan2 tehas terhadap kaum perusuh tsb. Kesimpulan dari pada itu tidak bisa lain, bahwa anggota2 tentara di Bawa Barat sedikitnya besimpati pada kaum perusuh tsb, dan bahwa terdapat desas-desus bahwa sebagian turut serta melakukan perusakan2 dan perampokan2. Walaupun pemerintah mengecam dan menuduh “Gerakan bawah tanah kaum Komunis” tetapi adanya 19 (sembilan belas) anggota Siliwangi yang ditahan, termasuk diantaranya 2 orang Letkol dan beberapa perwira lainnya, begitu juga beberapa orang dari pemimpin sipil “Angkatan Muda Siliwangi” yang didukung oleh Militer Siliwangi. (Diterangkan bahwa perwira dan prajurit2 tsb diduga terlibat dalam usaha kudeta 1965. Kompas, 26 Oktober ’73. Namun dipahami bahwa alasan utama adalah keterlibatan merka itu didalam huru-hara Bandung tersebut, Tempo, 27 Oktb 1973).

Tampaknya elemen2 suku Sunda dalam divisi Siliwangi telah menggalakkan terjadinya huru-hara tsb sebagai suatu cara untuk memprotes terhadap tindakan2 pemerintah yang menguntungkan Cina dan penanam modal asing dengan mengorbankan penguasaha pribumi. Sadar akan adanya simpati yang dirasakan oleh prajurit2 biasa dan perwira2 muda thd huru-hara anti Cina, maka pimpinan Siliwangi tampak ragu2 memerintahkan pasukannnya untuk bertindak. Kelihatannya penguasaan pihak pimpinan tentara adalah jauh sekali dari meyakinkan dibanding dengan nampak sebelumnya terjadinya huru-hara tsb, dan terdapatkan sepekulasi tentang meluaskan kekurang disiplinan itu di Jawa Barat, yg kiranya juga terdapat di lain-lain daerah. Sementara bukti tentang tidak adanya disiplin dan persatuan di kalangan Angkatan Darat telah menimbulkan tanda tanya terhadap kemampuan untuk menghadapi ketidak puasan massa; maka suatu issue baru mulai memperoleh saat yang beriwayat. Pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah mengumumkan suatu RUU yang mengatur perkawinan secara Uniform dan mengatur perceraian bagi penganut2 semua agama. RUU tersebut merupakan titik puncak dari tuntutan organisasi2 wanita ber-tahun2 lamanya yang menghendaki jaminan hukum yang tidak dijamin oleh hukum Islam. Tetapi keputusan untuk memajukan RUU tersebut kelihatannya berasal dari Staf Ali Murtopo yang dianggap suatu issue untuk digarap guna meneruskan suatu proses “Sekularisasi” politik Islam. Pengajuan RUU itu segera diikuti oleh penentangan yang hebat dari kaum muslimin. Sedangkan pemimpin2 agama mereka bekerja sama satu sama lain dalam menunjukkan bukti bahwa lebih dari selusin pasal2 RUU bertentangan dengan hukum Islam. Di jakarta ratusan demonstran pelajar2 Islam menyerbu dalam ruangan sidang DPR pada waktu Menteri Agama berpidato menerangkan RUU tsb pada tanggal 27 September dengan akibat bahwa sidang tersebut terhalang selama lebih dari 2 jam. Sementara itu didaerah seperti di Jawa Timur beberapa pimpinan Islam bahkan mulai berbicara dengan istilah “Perang Sabil” terhadap pemerintah. Munculnya pembangkangan dari kalangan sipil terjadi secara tiba-tiba seperti itu telah menempatkan pemerintah pada kedudukan tidak waspada, sementara kapasitas Angkatan Bersenjata untuk menghadapi tantangan tsb sangat meragukan.

Walaupun sesungguhnya tentara sangat mungkin menghadapi ancaman tersebut, namun di kalangan para perwira sendiri terdapat perasaan bahwa Undang2 tsb merupakan provokasi yang tidak perlu terhadap kaum muslimin, dan bahwa keuntungan apabila Undang2 tsb berhasil disahkan, tidak sesuai dengan bahaya2 dan kesulitan2 yang akan dihadapi oleh perwira2 lapangan (Fieal Offices) didalam mengatasi ketidakpuasan yang semakin membahayakan.

Gejala2 yang setengah terbuka yang mulai tercium bulan Agustus dan September mendadak ditampilkan kedepan dengan nyata bulan Oktober dengan jatuhnya pemerintah Thanon Kittakachorn di Muangthai. Kelompok penguasa Thai yang tampaknya tidak tergoyahkan dalam singgasana kekuasaannya telah digulingkan secara “Menakjubkan”. Sementara para pemimpin redaksi Surat-kabar memberi gambaran dengan cepat, bahwa cara-cara mahasiswa Bangkok itu adalah meniru/belajar dari yang telah dilakukan oleh mahasiswa Indonesia terhadap Soekarno ditahun 1966.

Secara perseorangan banyak orang merasakan jangan2 pelajar itu kini berbalik berlawanan arah. Tentara Thai tampaknya selalu bersatu dan kelompok2 sipil tampaknya tidak punya landasan yang dapat dijadikan pangkalan untuk menentang pemerintah. Namun dengan huru-hara mahasiswa beberapa hari saja sudah cukup untuk menimbulkan penggeseran yang sangat berarti di kalangan pemerintahan. Analoginya dengan situasi di Indonesia belum tepat benar, namun didalamnya terdapat cukup kesamaan2 dalam penumbuhan situasi di Bangkok itu yang memberikan pengaruh dramatis dengan suasana di Jakarta.

Menjelang akhir Oktober suatu rapat mahasiswa yang bertempat di UNIVERSITAS INDONESIA menghasilkan “PETISI 24 Oktober” yang memprotes terhadap pelanggaran hukum, korupsi yang meningkat, penyalahgunaan kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran, dan menuntut diadakannya peninjauan kembali terhadap strategi pembangunan yang hanya menguntungkan golongan kaya. Dalam beberapa minggu berikutnya keresahan mahasiswa berkembang dan ketika Menteri pembangunan dan Kerjasama Belanda yang masih muda dan simpatik, Drs, Pronk tiba di Jakarta pada tanggal 11 November, ia telah disambut oleh demonstrasi mahasiswa yang menamakan diri mereka “Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia”. Dalam suatu statemen yang disampaikan kepada Pronk mereka itu menyatakan bahwa “Kami tidak merasa bangga dengan bantuan asing dan modal asing dalam bentuk gedung-gedung bertingkat, hotel, Coca-cola, night lub dllnya. Dalam pada itu lebih banyak orang yang tidak mempunyai pekerjaan, perumahan dan tanah, industri-industri tekstil yang kecil mati, hutan kami menjadi gundul dan semua sumber minyak kami terkuras”. Tidak lama kemudian serangkaian delegasi mahasiswa menemui pemimpin2 pemerintahan untuk memprotes kebijaksanaan ekonomi yang bergantung pada modal asing dan beberapa protes dikeluarkan terhadap cara hidup mewah, termasuk diantaranya demonstrasi disuatu Hotel (Hotel Indonesia, red) dimana sedang diadakan pemilihan ratu kecantiksan Miss Indonesia, bersamaan dengan itu suasana liberal yang tidak senantiasa dialami oleh Pers Indonesia telah mendorong mereka untuk menlancarkan kritik2 keras terhadap modal asing dan pegawai yang korup; sedangkan Rendra seorang penyair, membuat pagelaran Sandiwara tentang suatu negara Amerika Latin tanpa nama dimana para mahasiswanya mengibarkan bendera Merah Putih bergabuung kedalam suatu revolusi menentang suatu pemerintahan Militer yang KORUP,

sejalan dengan makin dekatnya kunjungan Perdana Menteri Jepang, gerakan2 itu mengambil nada anti Jepang yang meningkat, dan pemuda2 naik keatas gedun g yang tertinggi di jakarta untuk memancangkan bendera merah putih disitu, diatas suatu reklame neon Jepang. (Ketidak pekaan pembesar2 terhadap perasaan umum tergambar dalam sikap mereka ketika pasukan keamanan mencabut bendera tersebut 2 jam kemudian). Suasana sangat tidak menguntungkan bagi pemerintah, tetapi Jendral Sumitro selaku Panglima KOPKAMTIB mengambil sikap lunak terhadap kritik2 yang dilontarkan yang sebagia besar ditujukan kepada kegiatan2 kelompok ABRI.

Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.


Peristiwa Malari di Senen


Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh Yoga Sugama.

Ali Moertopo dan Peristiwa Malari

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.



0 komentar:

Posting Komentar

Translate

 

DUNIA BOLA XXX © 2012 | Designed by Tagamet for warts

Thanks to: No Deposit Casino Bonus, Spielautomaten and Bajar de peso